Berkisah tentang kehebatan Bung Karno berpidato, seperti menguras
sebuah samudera. Bombastis? Baiklah, seperti menguras sumur tua. Sumber
airnya terus mengucur, sekalipun sudah dikuras. Semua kisah itulah
kiranya, yang lantas menasbihkannya menjadi Singa Podium. Semua kisah
itu yang menobatkannya menjadi orator ulung.
Terlebih sekeluarnya dari penjara Sukamiskin tahun 30-an, Sukarno
menjadi lebih matang. Bung Karno menjadi rajin keliling berbagai daerah
untuk membakar semangat rakyat. Dari sanalah lahir cerita-cerita menarik
yang berhubungan dengan pidato-pidatonya.
Yang merepotkan adalah di saat musim hujan. Karena sulitnya medan,
tidak jarang Bung Karno baru tiba di tempat rapat umum pukul 15.00,
meski rapat itu dijadwalkan berlangsung pukul 09.00, dan akibatnya massa
sudah bercerai-berai. Akan tetapi, ketika melihat Sukarno datang, dalam
sekejap massa sudah menyemut di depan podium.
Meski hujan terus mengguyur, Bung Karno tetap berpidato. Massa
berpayung daun pisang, juga tak beranjak dari tempatnya berdiri. Tidak
lama kemudian, air pun menembus jas hujan Bung Karno, sehingga ia basah
kuyup. Daun-daun pisang pun koyak, sehingga massa pun kebasahan.
Derasnya hujan, membuat mereka sesekali menyeka air dari wajah-wajah
yang tetap menengadah menyimak pidato Bung Karno.
Kalau sudah begitu, Bung Karno akan berujar, “Nah, sekarang, untuk
memanaskan badan kita, bagaimana kalau kita menyanyi bersama-sama?”
Alhasil, di sela-sela petir yang menggemuruh, terdengarlah satu suara
mengikuti Bung Karno menyanyi. Disusul, sepuluh orang menyanyi. Lalu,
seratus orang ikut menyanyi. Tidak lama kemudian, menggemalah 20.000
suara menjadi satu paduan lagu gembira. Bung Karno sadar betul, tembang
daerah bisa menyatukan rakyat sangat erat, lebih erat dari rantai besi
sekalipun.
Hingga hujan reda, dan Bung Karno mengakhiri pidatonya, tak satu pun
orang bergeser dari tempatnya berdiri. Salah seorang pengikut Bung Karno
berkomentar, “Ini adalah suatu kejadian yang tidak dapat dilakukan oleh
orang semata-mata. Bakat yang demikian itu terletak antara Bung dan
alam.”
Kali berikutnya, Bung Karno berpidato di Solo, di mana putri-putri
keraton yang cantik- cantik keluar dari pingitan hanya untuk
mendengarkan pidatonya. Bahkan salah seorang yang sedang hamil tua
menepuk-nepuk perutnya berkali-kali sambil menggumamkan kata, “Saya
ingin seorang anak seperti Sukarno.” Di tengah pidato, mendadak muncul
ide dadakan Sukarno. Ia melepas pecinya, dan menyerahkan kepada salah
satu putri keraton untuk berkeliling mengumpulkan uang untuk pergerakan.
Tidak berhenti sampai di situ. Kisah lain lebih bernuansa
tragi-komedi, ya tragis, ya komedis. Kisah terjadi di Gresik, Jawa
Timur. Di tengah kerumunan massa, tampak seorang pejabat kolonial yang
kebetulan keturunan pribumi. Ia harus memantau kegiatan pidato Sukarno,
dan harus membuat laporan tertulis kepada pemerintah Hindia Belanda.
Pejabat kolonial keturunan pribumi yang disebut “patih” oleh Sukarno
itu, tampak tekun dan khidmat mengikuti orasi Bung Karno. Ekspresinya
sangat serius, seperti menyimak kata demi kata dengan hati. Dan,
manakala meledak tempik-sorak massa, ia pun spontan bersorak dan
bertepuk tangan penuh semangat, lupa akan baju seragam kolonial yang
dipakainya.
Celaka duabelas… tidak jauh dari kerumunan massa, hadir juga Van der
Plas, Direktur Urusan Bumiputera. Lebih apes lagi, Van der Plas melihat
dengan mata kepala sendiri, anak buahnya ikut bersorak-sorak dan
bertepuk tangan mendengarkan pidato Bung Karno. Kisah selanjutnya bisa
Anda tebak, ia langsung dipecat.