Parijs van Sumatra adalah sebutan dua
kota di Sumatera pada masa kolonial. Yaitu, Medan (Sumatera Utara) dan
Bukittinggi (Sumatera Barat. Bukittinggi, kota dengan liukan pegunungan
nan elok, pemandangan hijau, ngarai, serta Tri Arga (tiga gunung) yaitu
Gunung Merapi – gunung tertinggi di Sumatera Barat – Gunung Singgalang,
dan Sago.
Sebenarnya tak hanya tiga gunung itu yang mengelilingi Bukittinggi. Tapi ada 27 bukit lain yang membuat Bukittinggi begitu sejuk dan cantik. Istana Negara di kota ini juga dinamakan Tri Arga dan kemudian menjadi Istana Negara Bung Hatta.
Bukittinggi ada di 91 km sebelah utara kota pesisir Padang (yang memiliki Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandar Internasional Minangkabau). Bukittinggi berada di dataran tinggi, baik jalan raya maupun jalur kereta api menuju Bukittinggi harus melalui banyak tanjakan dan tikungan. Belanda sudah membangun jalan raya Padang-Bukittinggi pada 1833 sedangkan jalur kereta api pada 1890. Seperti di Ambarawa, jalur kereta api Padang-Bukittinggi juga mempunyai tiga rel karena jalur tersebut menanjak.
Kini, jalur kereta api sudah berganti dengan bus tapi jalur kereta api masih bisa terlihat mengular. Sayangnya semua itu tinggal kenangan.
Tiba di Bukittinggi, siapapun yang terbiasa hidup dengan cuaca Jakarta pasti akan sedikit bergidik. Suhu udara berkisar antara 19-23 derajat Celcius. Sejuk sangat, dengan udara yang masih bersih, langit siang hari yang begitu cerah. Suasana dan cuaca di pagi hari, sekitar pukul 07.30, masih terasa sepi, tenang, nyaman, sejuk. Berbeda dengan Jakarta yang tak pernah berhenti dari kesibukan dengan polusi yang bikin langit Jakarta seakan mendung.
Sebagai Parijs van Sumatra - dengan pemandangan elok, maka wisatawan yang datang ke tempat ini pasti tak akan melewatkan Ngarai Sianok. Decak kagum pastilah keluar dari mulut siapapun yang pertama kali melihat Ngarai Sianok yang berkelok-kelok dengan Sungai Batang Sianok mengalir di dasarnya.
Dalam Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, Zulqayyim, staf pengajar jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menulis tentang “Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda”. Dalam tulisan itu ia menyertakan sejarah berdirinya Bukittinggi yang dimulai dari sebuah pasar yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai.
Pada awalnya pasar (orang Minangkabau menyebutnya sebagai pakan) itu hanya dibuka tiap Sabtu, setelah makin ramai, maka ditambah hari Rabu. Karena pasar itu terletak di salah satu bukik nan tatinggi (bukit yang tertinggi) maka kemudian jadilah sebutan Bukittinggi untuk pasar sekaligus Nagari Kurai itu. Nama pasar itu kini menjadi Pasar Atas (Pasar Ateh) dan berada di jantung kota ini.
Dalam referensi lain disebutkan, pasar tersebut berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi. Nama Pasar Kurai menjadi Pasar Bukittinggi.
Bagi Belanda, setelah perjanjian Plakat Panjang 1833, menjadikan salah satu nagari yang ada di daerah Luhak (kabupaten) Agam dan terdiri atas Lima Jorong sebagai pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock. Itulag asal mula Nagari Kura. Jauh sebelum kedatangan Belanda di Dataran Tinggi Agam, 1823, Pasar Bukittinggi sudah ramai didatangi penduduk.
Pada sekitar 1825-1826, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, Kapten Bauer, mendirikan benteng Fort de Kock di Bukit Jirek – 300 meter sebelah utara Pasar Bukitinggi. Nama Fort de Kock diambil dari nama Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Hendrik Markus de Kock. Benteng itu dibangun untuk membantu Kaum Adat menghadapi Kaum Paderi (Agama). Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menyebut kawasan itu sebagai Fort de Kock sedangkan warga Minangkabau tetap menyebut Bukittinggi. (dikutip dengan perubahan seperlunya dari Kompas.com, Senin, 22 Maret 2010) (008/KOMINFO)
Sebenarnya tak hanya tiga gunung itu yang mengelilingi Bukittinggi. Tapi ada 27 bukit lain yang membuat Bukittinggi begitu sejuk dan cantik. Istana Negara di kota ini juga dinamakan Tri Arga dan kemudian menjadi Istana Negara Bung Hatta.
Bukittinggi ada di 91 km sebelah utara kota pesisir Padang (yang memiliki Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandar Internasional Minangkabau). Bukittinggi berada di dataran tinggi, baik jalan raya maupun jalur kereta api menuju Bukittinggi harus melalui banyak tanjakan dan tikungan. Belanda sudah membangun jalan raya Padang-Bukittinggi pada 1833 sedangkan jalur kereta api pada 1890. Seperti di Ambarawa, jalur kereta api Padang-Bukittinggi juga mempunyai tiga rel karena jalur tersebut menanjak.
Kini, jalur kereta api sudah berganti dengan bus tapi jalur kereta api masih bisa terlihat mengular. Sayangnya semua itu tinggal kenangan.
Tiba di Bukittinggi, siapapun yang terbiasa hidup dengan cuaca Jakarta pasti akan sedikit bergidik. Suhu udara berkisar antara 19-23 derajat Celcius. Sejuk sangat, dengan udara yang masih bersih, langit siang hari yang begitu cerah. Suasana dan cuaca di pagi hari, sekitar pukul 07.30, masih terasa sepi, tenang, nyaman, sejuk. Berbeda dengan Jakarta yang tak pernah berhenti dari kesibukan dengan polusi yang bikin langit Jakarta seakan mendung.
Sebagai Parijs van Sumatra - dengan pemandangan elok, maka wisatawan yang datang ke tempat ini pasti tak akan melewatkan Ngarai Sianok. Decak kagum pastilah keluar dari mulut siapapun yang pertama kali melihat Ngarai Sianok yang berkelok-kelok dengan Sungai Batang Sianok mengalir di dasarnya.
Dalam Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, Zulqayyim, staf pengajar jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menulis tentang “Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda”. Dalam tulisan itu ia menyertakan sejarah berdirinya Bukittinggi yang dimulai dari sebuah pasar yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai.
Pada awalnya pasar (orang Minangkabau menyebutnya sebagai pakan) itu hanya dibuka tiap Sabtu, setelah makin ramai, maka ditambah hari Rabu. Karena pasar itu terletak di salah satu bukik nan tatinggi (bukit yang tertinggi) maka kemudian jadilah sebutan Bukittinggi untuk pasar sekaligus Nagari Kurai itu. Nama pasar itu kini menjadi Pasar Atas (Pasar Ateh) dan berada di jantung kota ini.
Dalam referensi lain disebutkan, pasar tersebut berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi. Nama Pasar Kurai menjadi Pasar Bukittinggi.
Bagi Belanda, setelah perjanjian Plakat Panjang 1833, menjadikan salah satu nagari yang ada di daerah Luhak (kabupaten) Agam dan terdiri atas Lima Jorong sebagai pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock. Itulag asal mula Nagari Kura. Jauh sebelum kedatangan Belanda di Dataran Tinggi Agam, 1823, Pasar Bukittinggi sudah ramai didatangi penduduk.
Pada sekitar 1825-1826, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, Kapten Bauer, mendirikan benteng Fort de Kock di Bukit Jirek – 300 meter sebelah utara Pasar Bukitinggi. Nama Fort de Kock diambil dari nama Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Hendrik Markus de Kock. Benteng itu dibangun untuk membantu Kaum Adat menghadapi Kaum Paderi (Agama). Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menyebut kawasan itu sebagai Fort de Kock sedangkan warga Minangkabau tetap menyebut Bukittinggi. (dikutip dengan perubahan seperlunya dari Kompas.com, Senin, 22 Maret 2010) (008/KOMINFO)